Menyoal parlemen biaya tinggi

Demokrasi kita memperlihatkan gejala parlemen biaya tinggi. Parlemen biaya tinggi ditandai oleh dua hal, yakni secara nyata (tangible) biaya parlemen makin tinggi dan secara tidak nyata (intangible) anggota parlemen kita belum cakap menjalankan peran dan fungsinya.

Secara tangible makin tingginya biaya parlemen ditandai dengan kenaikan gaji dan bermacam tunjangan anggota parlemen pusat dan daerah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 37/2006 tentang Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah mendorong kenaikan biaya parlemen berlipat-lipat. Meningkatnya biaya parlemen sebenarnya tidak akan jadi masalah jika anggota parlemen cakap menjalankan peran dan fungsinya. Tapi, justru di sinilah masalahnya.

Secara intangible, anggota parlemen kita belum cakap menjalankan peran dan fungsinya. Berkali-kali anggota dewan mempertontonkan perilaku yang lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang membela kepentingan publik.

Contoh paling mutakhir adalah unjuk rasa anggota DPRD yang menolak revisi PP No. 37/2006. Alih-alih mengontrol, mereka juga lebih senang berselingkuh dengan pemerintah. Di daerah, banyak anggota dewan yang lebih memerankan sebagai ajudan kepala daerah ketimbang sebagai wakil rakyat. Fungsi legislasi mereka juga masih belum optimal.

Depotilisasi masyarakat

Mengapa demokrasi kita melahirkan parlemen biaya tinggi? Ini erat kaitannya dengan stok politisi unggul dalam masyarakat kita dan sistem perekrutan politisi (baca: pemilihan umum). Stok politisi unggul dalam masyarakat kita sangat tipis. Dengan sistem perekrutan politisi yang paling baik sekalipun, kalau di masyarakat hanya ada politisi ‘kacangan’ maka yang terjaring adalah politisi ‘kacangan’.

Tipisnya stok politisi unggul dibidani oleh pemerintah orde baru yang melakukan depolitisasi masyarakat. Selama lebih dari tiga dekade tidak ada ruang manuver bagi masyarakat dan institusi politik untuk berpolitik, mengembangkan pendidikan politik kewarganegaraan, dan kaderisasi politisi.

Kalaupun kebetulan ada satu atau dua orang yang kelihatan berbakat pemimpin, maka segera disingkirkan karena dianggap akan mengganggu kemanunggalan pemimpin nasional saat itu. Kompetensi kepemimpinan tak diberi tempat yang layak. Pendek kata, lanskap sosial, politik, dan budaya yang ditabur pemerintah orde baru saat itu tidak memungkinkan bagi kita untuk menuai politisi unggul.

Tipisnya stok politisi unggul diperparah lagi oleh sistem perekrutan politisinya yang buruk. Meskipun sistem perekrutan politisi melalui pemilu sudah mengalami perubahan yang cukup berarti, namun partai politik yang peranannya sentral dalam perekrutan itu, alih-alih menjadi ajang pembibitan (breeding) calon politisi unggul, justru menjadi bursa transaksi kursi parlemen. Monetisasi pencalonan kandidat jauh lebih penting ketimbang penanaman ideologi atau visioning calon anggota dewan.

Monetisasi ini juga jauh merasuk ke dalam dinamika internal partai. Jual suara, beli dukungan menjadi kecenderungan umum dalam pengisian jabatan-jabatan strategis partai politik untuk semua tingkatan mulai dari pusat, wilayah, cabang, sampai ranting. Akibatnya, daripada mencurahkan sumber daya untuk membiayai ideologi dan visinya tentang bangunan masyarakat dan negara yang ingin dicapai, partai politik kita justru sibuk berebut sumber daya publik.

Partai politik bukannya menjadi kendaraan kita mencapai tujuan bernegara malahan menjadi alat untuk merebut sumber daya publik. Dalam kondisi seperti ini sulit diharapkan partai politik bisa menjadi jalan keluar atau menawarkan jalan keluar, karena kemampuan mengoreksi dirinya (self correction) menjadi sangat lemah.

Kelihatannya semangat untuk berebut sumber daya publik dengan menggunakan kendaraan partai politik sangat tinggi. Ini terlihat dari animo orang atau sekelompok orang untuk mendirikan partai politik baru. Sampai saat ini di Departemen Hukum dan HAM sudah tercatat ada 45 partai politik baru yang ingin bertarung dalam Pemilu 2009 nanti.

Menambah beban

Parlemen biaya tinggi jelas menambah beban masyarakat secara politik dan finansial. Pasalnya, uang pajak dari rakyat harus lebih banyak dipakai untuk membiayai parlemen yang kinerja politiknya rendah. Dalam konteks lebih luas dan jangka panjang, fenomena parlemen biaya tinggi sulit mengantarkan kita menjadi bangsa maju dan beradab tinggi.

Kalau parlemen negara lain sudah sibuk berdebat menyusun aturan dan anggaran tentang program eksplorasi ruang angkasa, misalnya, di sini parlemen kita masih ribut soal tunjangan komunikasi, biaya temu konstituen , rapelan, dan lain-lain.

Parlemen biaya tinggi adalah anak kandung masyarakat. Oleh karena itu masyarakat sendiri yang harus mengatasi hal ini. Di sini masyarakat dituntut untuk terus mereproduksi stok politisi unggul. Mulai sekarang kita harus menabur benih-benih politisi unggul di setiap pranata sosial yang ada, yakni keluarga, pendidikan, agama, media, dan lainnya.

Orangtua dan guru, tak perlu ragu memperkenalkan politik sebagai arena perjuangan memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat. Demikian juga untuk menanamkan nilai dan orientasi bahwa menjadi politisi unggul adalah sama baiknya dan sama mulianya dengan menjadi insinyur, dokter, arsitek, pengacara, dan profesi lainnya.

Pada saat yang sama, sistem pemilu juga harus diperbaiki terus-menerus yang memungkinkan kita mendapatkan para politisi yang makin simetris dengan kepentingan publik. Usulan untuk menghilangkan nomor urut kandidat dalam pemilihan anggota parlemen tampaknya sejalan dengan upaya ini.

Oleh Dedi Haryadi
Program Officer Local Governance Tifa Foundation

Leave a comment